TEMPO.CO, Palu - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirimkan helikopter MI-8 untuk membantu operasi water-bombing atau pengeboman material disinfektan di wilayah terdampak likuifaksi, seperti Petobo, Balaroa dan Jono Oge.
Baca: Top 3 Tekno Berita Hari Ini: Likuifaksi di Palu Sudah Diprediksi
Baca: Pengalaman Likuifaksi di Jepang dan India serta Mitigasinya
Baca: Peneliti LIPI: Tanah Cekungan Bandung Tidak Berpotensi Likuifaksi
Operasi tersebut dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Kementerian Kesehatan, serta Kesehatan TNI. Pengeboman menjadi langkah yang efektif karena cakupan wilayah yang luas dan kondisi lapangan yang berpotensi terjadi amblesan.
"Saya merekomendasikan penimbunan di wilayah terdampak likuifaksi, seperti di Petobo yang lapisan tanahnya terangkat akan ditimbun. Cara terbaik adalah menimbun dengan tanah seperti selayaknya memakamkan jenazah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari," ujar Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan Ahmad Yurianto, dalam keterangannya, Kamis, 18 Oktober 2018.
Penanganan wilayah terdampak likuifaksi tidak hanya melalui pengeboman udara, tapi juga fogging atau penyemprotan oleh para personel di darat. Langkah tersebut telah dilakukan di wilayah-wilayah yang dapat dijangkau di Petobo dan Balaroa.
Penyemportan juga dilakukan di halaman rumah sakit yang digunakan untuk pengumpulan jenazah yang berhasil dievakuasi, seperti RS Undata, RS Madani, dan RS Bhayangkara. Tindakan ini merupakan upaya untuk membasmi vektor yang dapat mengancam kesehatan lingkungan. Namun untuk solusi jangka panjang, penimbunan wilayah terdampak likuifaksi harus segera dilakukan.
"Pertimbangan terbaik dalam penanganan jenazah yang belum diketemukan setelah hari ke-7 adalah dengan tetap memakamkan di lokasi yang diduga jenazah itu berada," kata Yurianto.
Material disinfektan diisi ke dalam bucket atau ember yang telah dipersiapkan personel TNI melalui mobil tanki. Pengeboman maupun penyemprotan disinfektan ini merupakan upaya antisipasi penyebaran penyakit melalui vektor seperti lalat, kecoa, atau tikus.
Banyaknya korban meninggal yang diperkirakan masih tertimbun bangunan maupun tanah mendorong upaya antisipasi tersebut. Di sisi lain, operasi evakuasi korban meninggal telah dihentikan tim gabungan pada 12 Oktober 2018 lalu, meskipun tidak menutup kemungkinan melakukan operasi evakuasi ketika mendapatkan laporan dari warga.
"Ini adalah bentuk penghormatan terhadap jenazah tersebut, di samping kemungkinan untuk bisa menemukan jenazah dalam keadaan utuh sangat kecil kemungkinannya. Penggalian jenazah juga sangat berisiko terhadap penyebaran dan penularan bakteri-bakteri berbahaya bagi kesehatan lingkungan sekitar," lanjut Yurianto.
Simak artikel tentang likuifaksi Palu lainnya di kanal Tekno Tempo.co.